SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Rabu, 08 Januari 2014

Wasiat dan Hibah




Wasiat & Hibah

A.    Pembahasan Wasiat
1.     Pengertian wasiat
Wasiat secara etimologi artinya berpesan. Dalam Al-Quran ada disbut 25 kali kta wasiat, baik dalam bntuk kata kerja, juga kata benda jadian. Wasiat juga ada yang memaknai dengan menetapkan, memrintahkan, mewajibkan, dan mensyaratkan.
Secara terminology, seperti pendapat Sayyid Sabiq, bahwa wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain berupa benda, , agar utang atau manfaat si penerima mmiliki pemberian itu setelah si pewasiat meninggal dunia.
Fuqaha Hanifah mendefenisikan wasiat adalah tindakan seseorang memberikan hak kepada orang lain untuk memiliki sesuatu beik berupa benda atau manfaat secara tabarru’ ( suka rela ) yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah peristiwa kematian orang yang member wasiat.
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi agar sesuatu itu dikategorikan sebagai wasiat, yaitu; pertama, orang yang member wasiat. Kedua orang penerima wasiat. Ketiga, ada benda atau manfaat dari si pemberi wasiat yang akn diberikan kpda penerima wasiat. Keempat, penyerahan wasiat dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal dunia.

2.      Sumber Hukum
Dasar hukum wasiat ada dalam Al-Quran surah Albaqarah ayat 180, surah al-Baqarah ayat 240 dan Surah Al-maidah ayat 106. Disamping itu juga ada beberapa hadist Rasulullah SAW yang berbicara tentang wasiat.
Mengenal hukum wasiat, para ulama berbeda pendapat tentang hal itu. mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak fardhu ‘ain, baik kepda orang tua atau kerabat yang sudah menrima warisan. Ada bebrapa alasan yang mereka ajukan. Pertama, andaikam wasiat itu diwajibkan, niscaya Nabi Saw telah menjelaskannya. Kedua, para sahabat pada praktiknya juga tidak melakukan wasiat. Ketiga, wasiat adalah pemberian hak yang tida wajib diserahkan pada waktu yang berwasiat meninggal dunia.
Implikasi yang muncul dari penapat mayoritas ulama itu adalah bahwa kewajiban berwasiat hanya dipenuhi jika seseorang berwasiat. Tetapi apabila tidak  berwasiat maka tidak perlu dipenuhi. Mereka beralasan bahwa kewajiban berwasiat seperti yang diperintahkan dalam ayat-ayat yang ada hanya berlaku pada masa awal islam. Ketentuan yang ada dalam A-Baqarah ayat 180 telah dinaskh oleh suratt An_nisa ayat 11,12.
Abu Dawud, Ibn Hazm dan Para ulama salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya fardhu ‘ain (kewajiban yang bersifat individual). Mereka berlandaskan QS. Al-Baqarah:180 dan An-Nisa;11-12. Dari ayat itu mereka menginterprestasikan bahwa Allah mewajibkanhambah-Nya untuk mewariskan sebahagian harta peninggalannya kepada ahli waris yang lain dan mewajibkan wasiat didahulukan pelaksnaanya daripada pelunasan hutang.
Namun ada satu pendapat yang lebih realistis yang diutarakan oleh imam malik tentang masalah wasiat ini. Menurut beliau, jika simati pada masa hidupnya tidak berwasiat, tidak perlu dikeluarkan harta untuk pelaksanaan wasiat. Tetapi jika si mati berwasiat, maka ambilah 1/3 hartanya untuk wasiat. Hal ini tentu sangt kontras dengan pendapat yang dikemukan oleh Imam Syafi’I, dalam pandanganya, meskipun si mati tidak berwasiat, sebagian hartanya tetap diambil untuk keperluan wasiat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar