Wasiat & Hibah
A. Pembahasan Wasiat
1. Pengertian wasiat
Wasiat secara etimologi artinya berpesan. Dalam Al-Quran ada disbut 25 kali kta wasiat, baik
dalam bntuk kata kerja, juga kata benda jadian. Wasiat juga ada yang memaknai
dengan menetapkan, memrintahkan, mewajibkan, dan mensyaratkan.
Secara terminology, seperti pendapat Sayyid Sabiq, bahwa wasiat adalah
pemberian seseorang kepada orang lain berupa benda, , agar utang atau manfaat
si penerima mmiliki pemberian itu setelah si pewasiat meninggal dunia.
Fuqaha Hanifah mendefenisikan wasiat adalah tindakan seseorang memberikan
hak kepada orang lain untuk memiliki sesuatu beik berupa benda atau manfaat
secara tabarru’ ( suka rela ) yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah
peristiwa kematian orang yang member wasiat.
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi agar sesuatu itu dikategorikan
sebagai wasiat, yaitu; pertama, orang yang member wasiat. Kedua orang penerima
wasiat. Ketiga, ada benda atau manfaat dari si pemberi wasiat yang akn
diberikan kpda penerima wasiat. Keempat, penyerahan wasiat dilaksanakan setelah
pemberi wasiat meninggal dunia.
2.
Sumber Hukum
Dasar hukum wasiat ada dalam Al-Quran surah Albaqarah ayat 180, surah
al-Baqarah ayat 240 dan Surah Al-maidah ayat 106. Disamping itu juga ada
beberapa hadist Rasulullah SAW yang berbicara tentang wasiat.
Mengenal hukum wasiat, para ulama berbeda pendapat tentang hal itu.
mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak fardhu ‘ain, baik kepda orang tua atau
kerabat yang sudah menrima warisan. Ada bebrapa alasan yang mereka ajukan.
Pertama, andaikam wasiat itu diwajibkan, niscaya Nabi Saw telah menjelaskannya.
Kedua, para sahabat pada praktiknya juga tidak melakukan wasiat. Ketiga, wasiat
adalah pemberian hak yang tida wajib diserahkan pada waktu yang berwasiat
meninggal dunia.
Implikasi yang muncul dari penapat mayoritas ulama itu adalah bahwa
kewajiban berwasiat hanya dipenuhi jika seseorang berwasiat. Tetapi apabila
tidak berwasiat maka tidak perlu
dipenuhi. Mereka beralasan bahwa kewajiban berwasiat seperti yang diperintahkan
dalam ayat-ayat yang ada hanya berlaku pada masa awal islam. Ketentuan yang ada
dalam A-Baqarah ayat 180 telah dinaskh oleh suratt An_nisa ayat 11,12.
Abu Dawud, Ibn Hazm dan Para ulama salaf berpendapat bahwa wasiat
hukumnya fardhu ‘ain (kewajiban yang bersifat individual). Mereka berlandaskan
QS. Al-Baqarah:180 dan An-Nisa;11-12. Dari ayat itu mereka menginterprestasikan
bahwa Allah mewajibkanhambah-Nya untuk mewariskan sebahagian harta
peninggalannya kepada ahli waris yang lain dan mewajibkan wasiat didahulukan
pelaksnaanya daripada pelunasan hutang.
Namun
ada satu pendapat yang lebih realistis yang diutarakan oleh imam malik tentang
masalah wasiat ini. Menurut beliau, jika simati pada masa hidupnya tidak
berwasiat, tidak perlu dikeluarkan harta untuk pelaksanaan wasiat. Tetapi jika
si mati berwasiat, maka ambilah 1/3 hartanya untuk wasiat. Hal ini tentu sangt
kontras dengan pendapat yang dikemukan oleh Imam Syafi’I, dalam pandanganya,
meskipun si mati tidak berwasiat, sebagian hartanya tetap diambil untuk
keperluan wasiat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar